makalah ulumul quran (definisi ,macam macam dan status hukum mutlaq dan muqoyyad)

ULUMUL QUR’AN

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah ulumul Qur’an
Dosen pengampu : Ahmad Sholeh .
                                                                                    

http://dc451.4shared.com/doc/kAjUwkXv/preview_html_m71188c49.jpg



Disusun oleh :

Ika Melati Yulistiani
Hikmah Ding


SEKOLAH  TINGGI  AGAMA ISLAM (STAI) AL-FATAH

FAKULTAS KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM PROGRAM S-1

CILEUNGSI-BOGOR
2016-2017



KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrohiim,

Puji syukur Kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk, rahmat, dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan Makalah Ulumul Qur’an yang berjudul “Definisi mutlaq & muqoyyad , macam-macam mutlaq & muqoyyad serta status hukum masing-masing”
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, pemimpin para Nabi dan panutan bagi umat Islam di dunia yang beriman dan bertaqwa, begitu juga dengan para keluarga dan sahabat yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang-benderang “Ila Dzulumati Ilannur” serta kepada pengemban risalah mulia yang selalu mengikuti metode serta langkah beliau yang menjadikan “Al-Qur‟an” sebagai pedoman sekaligus sumber hukum.
Penyusun sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan, demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga amal kebaikan dan aktivitas yang kita lakukan selalu ada dalam rahmat dan ampunannya, Aamiin.











cileungsi, 27 januari 2018




                                                   penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Mutlaq & Muqoyyad .............................................................. 3
B. Macam - macam Mutlaq & Muqoyyad  .......................................... 7
C. Status hukum masing - masing  ..................................................... 9

BAB III PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA




BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Didalam pembahasan usul fiqih merupakan kaidah yang penting untuk mempelajari ilmu fiqih, banyak topik-topik yang menjadi bahasan dalam ilmu usul fiqih seperti: amar,nahi,’am,khos ,mujmal ,mutlak ,muqoyyad dan lain sebagainya .
Didalam pembahasan tentang muqoyyad dan mutlak merupakan hal yang paling terpenting untuk dijelaskan karna seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari masing-masing keduanya sehingga seseorang yang belajar ilmu fiqih dan dia tidak mengerti akan perbedaan dari muqoyyad dan mutlak akan terjadi kesalahfahaman dalam mengartikan sebuah ayat atau kitab lainya.
Hukum lafad mutlak dan muqoyyad merupakan pembahasan yang sangat penting seperti halnya seseorang yang memahami hadis yang berbunyi ”seseorang yang membunuh orang mu’min secara tidak disengaja maka dia harus memerdekakan hamba sahaya ” di hadis ini banyak seseorang yang keliru pemahaman karena dia tidak memahami makana dari muqoyyad dan mutlak .sehingga mereka memahami hamba sahaya yang mutlak artinya baik hamba yang kafir atau yang islam ,sebenarnya pada keterangan tersebut dibatasi artinya hamba sahaya yang muslim.
Dan di dalam pembahasan usul fiqih yang banyak terjadi kesalahfahaman itu terletak pada pembahasan muqoyyad dan mutlak .memang pembahasan tersebut sangat sulit sehingga seseorang dalam memahami ayat tidak cukup mamahami secara dohir saja akan tetapi harus mengetahui tentang muqoyyad dan mutlak atau memahami tafsiran ayat tersebut.
Karena merupakan masalah yang urgen dan berimplikasi serius maka penulis akan menuangkan seberkas makalah yang menerangkan tentang” muqoyyad dan mutlak” sehingga bisa dibuat pedoman oleh seluruh umat islam khususnya orang yang mempelajari ilmu fiqih.agar terjadi kesalah fahaman dalam mengartikan suatu ayat alqur’an atau kitab yang lainya.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah di jelaskan maka dapat dibuat
perumusan masalah sebagai berikut;
a. Apa pengertian Mutlaq & Muqoyyad?
b. Apa macam – macam Mutlaq & Muqoyyad?
c. Bagaimana status hukumnya masing – masing ?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penulisan ini adalah untuk:
a. Mengetahui pengertian Mutlaq & Muqoyyad
b. Mengetahui macam – macam Mutlaq & Muqoyyad
c. Mengetahui Bagaimana status hukumnya masing – masing



BAB II

PEMBAHASAN

MUTLAQ DAN MUQOYYAD


A. Definisi Mutlaq & Muqoyyad

Mutlaq menurut bahasa adalah lepas tidak terikat,sedangkan menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami, dan tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
Para ulama ushul fiqh memberikan definisi mutlaq dengan berbagai definisi. Namun, semuanya bertemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan mutlaq ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Contoh dalam al qur’an yang berhubungan kifarat zhihar :

"Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”(QS.Al-Mujaadilah : 3)
والذين يظهر ون من نسائهم ثم يعودون لماقالوافتحريرقبل ان يتماسا ذلكم توعظونه والله بما تعلمون غبير

Kata raqabah (hamba sahaya) dalam ayat di atas mencakup budak secara keseluruhan (mutlak). Cakupan kata ini tidak terbatas pada satu budak tertentu. Kata ini tidak pula mensyaratkan agama budak tersebut. Jadi, bisa budak mukmin atau budak kafir.

Muqayyad menurut bahasa adalah tidak terlepas yakni terikat,sedangkan menurut ushul fiqih adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Misalnya: ungkapan meja menjadi “meja hijau”, rumah menjadi “rumah sakit”,jalan menjadi “jalan raya”. Kata-kata rumah, jalan dan meja ini sudah menjadi muqayyad karena menunjukan pada pengertian/makna tertentu dan dikaitkan atau diikatkan dengan kata lainnya.

Para ulama juga memberikan definisi Muqayyad dengan berbagai  definisi. Namun, semuanya bertemu pada suatu pengertian, yaitu suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.

Contoh dalam al qur’an misalnya kata raqabah yang telah dibatasi dengan kata mu’minah sehingga menjadi “raqabah mu’minah” mengenai kifarat pembunuhan yang berbunyi :

“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”(QS.An-Nisa’ : 92)

Kata budak mukmin (raqabah mu’minah) dalam ayat di atas tidak sembarangan hamba sahaya, tetapi hanya hamba sahaya yang beriman.
Dalam sumber lain yang dikutip dari jurnal di Academia.edu di katakana juga bahwa Mutlaq ialah lafaz yang menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh suatu batasan yang akan mengurangi jangkauan maknanya secara keseluruhan. Contohnya فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ   . kata yang digaris bawahi adalah kata mutlaq. Artinya mencakup budak secara mutlaq.

Sedangkan Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan sesuatu yang sudah dibatasi baik oleh sifat, syarat, dan ghayah. Contohnya  فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَة. Kata budak dalam ayat ini tidak lagi bersifat mutlaq karena sudah dibatasi oleh kata mukmin.

Dan penjelasan menurut buku usul fiqih yang di tulis oleh A.Hanafie  bahwa mutlaq ,ialah suatu lafadz yang menunjukan sesuatu hal atau barang dan orang yang tidak tertentu (syai’ah) tanpa adanya ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan.
Sedangkan muqoyyad , ialah suatu lafadz yang menunjukkan sesuatu hal atau barang dan orang yang tidak tertentu (syai’ah) dengan adanya ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan.[1]


Dalam memberikan definisi kepada Mutlak dan Muqoyyad terdapat rumusan yang berbeda , namun saling berdekatan :
1. Muhammad al-Khudhari Beik memberikan definisi:
Mutlak adalah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencangkup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2. Al-Amidi memberikan definisi:
Mutlak adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada madlul{ yang diberi petunjuk} yang mencangkup dalam jenisnya.
3. Abu Zahrah memberikan definisi:

Mutlak adalah lafadz yang memberikan petunjuk terhadap maudhu’nya {sasaran penggunaan lafadz} tanpa memandang kepada satu,banyak atau sifatnya tetapi memberikan petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya .
Dengan membandingkan definisi-definisi tersebut jelaslah bahwa Mutlak adalah lafadz yang mencangkup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad didalamya.
Disinilah letak perbedaan lafadz Mutlak dan lafad ’Am, Meskipun terdapat istilah meliputi afradnya.
Dari segi cakupanya juga, dapat dikatakan bahwa mutlak itu sama dengan nakirah yang disertai dengan tanda-tanda keumuman suatu lafadz, termasuk jama’ nakirah yang belum diberi qoyyid { ikatan }.contohnya dalam firman allah yang berbunyi:

Artinya: seseorang yang mendihar istri-istri mereka kemudian dia hendak menarik kembali apa yang diucapkanya maka wajib baginya memerdekakan seorang budak sebelum suaminya itu bercampur.
Lafadz “ Raqobah” yang berarti hamba sahaya itu adalah mutlak disamping afradnya banyak juga tidak dibatasi untuk afrad manapun . lafad mutlak yang meliputi sejumlah afrad adalah sama dengan lafadz yang ‘Am. Namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang prinsip. Lafadz ‘Am itu umumnya bersifat syumuli {meliputi}. Sedangkan keumuman dalam lafadz Mutlak bersifat badali {mengganti}. Umum yang bersifat syumuli itu adalah kulli {keseluruhan } yang berlaku atas satuan-satuan , sedangkan ‘am badali adalah kulli dari segi tidak terhalang untuk menggambarkan terjadinya kebersamaan ,tetapi tidak menggambarkan untuk setiap satuan-satuan ,hanya menggambarkan satuan yang meliputi. 
Muqoyyad { yang diikatkan kepada sesuatu} yaitu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada lafadz itu sebagai suatu sifat. Contoh lafadz hamba sahaya yang beriman. kata beriman dalam lafadz tersebut, disebut sebagai qoyid dalam bentuk sifat.  Ada juga dalam bentuk syarat, seperti dalam firmanya allah:
ايام ثلاثة فصيام يجد لم فمن

Artinya: barang siapa yang yang tidak memperoleh {hamba sahaya } hendaknya puasa tiga hari.

Bolehnya berpuasa hari itu dikaitkan dengan syarat dapat memperoleh hamba sahaya yang akan dimerdekakan.
Kemudian ada qoyyid yang berbentuk ghoyah {batasan} seperti firmanya allah dalam surat al-baqoroh :
Yang Artinya: kemudian sempurnakan puasa sampai malam hari.
Perbedaan antara mutlak dan muqoyyad itu adalah mutlak menunjukkan kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. sebagaimana  firman allah dalam surat al-Mujadalah 3: 

 dijelaskan bahwa Lafadz ”roqobah” yang berarti hamba sahaya dalam ayat ini disebutkan secara mutlak karena tidak diiringan oleh sifat apapun.Pengertian ayat ini berarti harus memerdekakan hamba sahaya dalam bentuk apapun .jadi hanya menuntut memerdekakan yang bernama hamba sahaya .Sedangkan muqoyyad ,menunjukkan pada hakikat sesuatu tetapi memerhatikan beberapa hal ,baik jumlah, sifat dan keadaan. Hal,sifat dan keadaan atau kuantitas yang menyertai muqoyyad itulah disebut qoyid.
Bila suatu hukum datang dalam bentuk mutlak ,maka hukumnya diamalkan berdasarkan kemutlakanya. Demikian pula apabila hokum datang dalam bentuk muqoyyad ,maka hukum itu diamalkan menurut qoyyid yang menyertainya seperti dalam contoh diatas .dalam hal ini tidak ada yang berbeda pendapat dikalangan ulama’.
Namun adakalanya hukum itu datang dengan bentuk mutlak dalam suatu nash hukum dan datang pula dalam bentuk muqoyyad dalam nash hukum yang lain.



B. Macam- macam Mutlak dan Muqayad dan Setatus Hukum Masing-maisng

Mutlak dan Muqayad memiliki bentuk aqliyah dan sebagai realitas bentukya kami kemukakan berikut ini:
Sebab dan hukumnya sama, sepertu “puasa” untuk kafarah sumpah.

1. Lafadh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya. Contohnya, pada Al-Qur'an Surat An Nisa’ ayat 11,
يوصيكم الله في اولادكم للذكثل حظ الانثيين فان كن نساءفوق اثنتين فلهن ثلثاماترك وان كانت واحدة فلهالنصف ولابويه لكل واحدمنهاالسدس مماترك ان كان له ولد فان لم يكن له ولدوورثه ابوه فلامه الثلث فان كان له اخوةفلامه السدس من بعد وصية يوصي بهااودين اباؤكم وابناؤكم لاتدرون ايهم اقرب لكم نفعا فريضة من الله ان الله كان عليما حكيم

“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa’ : 11)[2]
 “(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.” Wasiat yang dimaksud dalam ayat diatas bersifat muthlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadis yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak muthlaq lagi dan pasti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”
 2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh muthlaq dibawa ke kepada makna muqayyad. Contohnya pada Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 3:
حرمت عليكم الميتةوالدم والحم الخنزير

 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.” (QS. Al Maidah : 3) Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah muthlaq tanpa ada batasan. Pada Al-Qur'an Surat Al-An’am ayat 145,
قل لااجدفيمااوحي الي محرماعلى طاعم يطعمه الاان يكون ميتة اودمامسفوحااولحم خنزير

“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” (QS. Al An’am : 145) [3]
Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”  Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al Maidah ayat 3 yang muthlaq wajib dibawa (diartikan) ke muqayyad, yaitu “darah yang mengalir.”
 3. hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini masing-masing mutlaq dan muqaiyad tetap pada tempatnya sendiri. Muqaiyad tidak menjadi penjelasan mutlaq.
Contoh ayat mutlaq:
السارق والسارقة فا قطعواايديهما
“ pencuri lelaki dan perempuan potonglah tangannya”
Contoh muqoyyad :
“ wahai orang orang mu’min ,apabila kamu hendak shalat, hendaklah kamu basuh mukamu dan tanganmu sampai siku “.
(QS. AL-MAIDAH : 6)

Penjelasan:
Ayat 6 al - maidah yang muqoyyad tidak bias menjadi penjelasan ayat 38 al - maidah yang mutlak, karena berlainan sebab, yaitu hendak shalat dan pencurian, karena berlainan pula dalam hukum, yaitu wudhu dan pemotongan tangan. Dalam hal ini hadi nabi saw lah yang menjadi penjelasan ayat 38 al – maidah , karena pembicaraanya sebab dan hukumnya sama.
4. berbeda hukum tetapi sebabnya sama. Dalam hal ini masing masing mutlaq dan muqoyyad tetap pada tempatnya sendiri .
Contoh mutlaq:

“tayamum ialah sekali mengusap debu untuk muka dan kedua tangan”. (hadist riwayat Ammar)

Contoh muqoyyad:

“ basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku “.
(Qs. Al maidah : 6)
Penjelasan:
Ayat 6 al maidah tersebut yang muqoyyad tidak bias menjadi penjelasan hadis yang mutlaq, karena berbeda hukum , yang di baca rakan , yaitu wudhu pada ayat 6 al maidah dan tayamum pada hadis . meskipun sebabnya sama yaitu hendak shalat atau karena hadas (tidak suci).
5. berisi hukum yang sama tetapi berlainan sebabnya. Dalam hal ini ada dua pendapat :
a.       Menurut golongan syafi’I, mutlaq dibawa kepada muqoyyad.
b.      Menurut golongan hanafiyah dan malikiyah, mutlaq tetap pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqoyyad.[4]


Membawa Hukum Mutlaq kepada Muqayyad

Apabila nash hukum datang dengan bentukmutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentukmuqayyad, maka  menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:

Jika sebab dan hukum yang ada dalammutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad.   Maka dalam hal ini  hukum yang ditimbulkan oleh ayat yangmutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.

Contoh:

a)                 Ayat mutlaq:

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

 (المائدة:3) الْخِنْزِيرِ وَلَحْمُ وَالدَّمُ الْمَيْتَةُ عَلَيْكُمُ حُرِّمَتْ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang  mengikatnya.

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

b)                Ayat Muqayyad:

  Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

 “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.[5]

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas  berbentuk muqayyad, karena diikuti olehqarinah atau qayid yaitu  lafadz “masfuhan”(mengalir).  Oleh karena itu  darah yang diharamkan  menurut ayat ini ialah  “dam-an masfuhan” (darah  yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini  dengan  surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.

Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan  harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.




BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN

Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya.


Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.


Hukum lafal mutlaq dan muqayyad jika bertemu ada 4 bagian yaitu:
a)      Sebab dan hukum sama, maka Mutlaq ditarik ke Muqayyad.
b)      Sebab dan hukum berbeda, maka Mutlaq tidak ditarik ke Muqayyad.
c)      Sebab sama, tapi hukum berbeda, maka Muqayyad dan Mutlaq berdiri sendiri
d)     Sebab berbeda, tapi hukum sama, maka menurut golongan Syafi’i Mutlaq ditarik ke Muqayyad., sedangkan menurut golongan HanafiyahMuqayyad dan Mutlaq berdiri sendiri.

Menurut kesepakatan jumhur bahwa ayat mutlaq dibawa kepada ayat muqayyad jika sebab dan hukum keduanya sama. Hukum mutlaq dan muqayyad selama tidak ada hubungan keduanya, keduanya berjalan sendiri-sendiri. Ayat mutlaq dipahami sesuai dengan kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad dipahami sesuai dengan kemuqayyadannya.
 Apabila salah satu dari sebab atau hukumnya saja yang sama, maka ayat yangmutlaq tetap tidak bisa dibawa atau dipahami kepada yang muqayyad.  Perlu bagi seorang mujtahid sebelum beristimbat untuk mengetahui lebih dulu apakah ayat tersebut termasuk ayat yang mutlaq ataupun muqayyad.



KRITIK DAN SARAN
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (Mutlaq dasn Muqayyad) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah.
Adapun saran kami sebagai penyaji makalah kepada para pembaca ialah untuk tetap mencari referensi-referensi yang lain yang menyangkut dalam pembahasan ini, di karenakan makalah ini hanya garis-garis besar saja dan hanya  sebagian referensi buku yang kami jadikan, sehingga makalah ini tercipta sederhana. Yang akan di kwatirkan para pembaca kurang memahami yang lebih dalam lagi . dan apa bila buku ini bermamfaat dan bisa menjadi pegangan sehari-hari, itu datang nya dari Allah Swt, dan apabila di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan itu datangnya dari pemakalah sendiri. Terimakasih ....



DAFTAR PUSTAKA
·         Alqur’an nul karim
·         Shidiq, Sapiudin. (2011). Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
·         Abu Zahrah, Muhamad. (2013). Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
·         Effendi, Satria, dan Zein, M. (2005). Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
·         Khalaf, ‘Abd al-Wahâb. 1978. ‘Ilm Ushûl alFiqh. t.pn.: Maktabah al-Da’wah al-Islâ- miyyah.
·         Khudlarî Bik, Syaikh Muhammad al-. 1988. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr.



[1] A. Hanafie M.A, USUL FIQIH, Yogyakarta, 1962, halaman 74
[2] QS. An Nisa : 11
[3] QS. Al An’am : 145
[4] A. Hanafie M.A. , USUL FIQIH, Yogyakarta, 1962, halaman 75-76
[5] A. Hanafie M.A. , USUL FIQIH, Yogyakarta, 1962, halaman 74-75

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah teory analisis framing

AYAH

MENELADANI SIFAT-SIFAT PARA NABI DAN ROSUL DEMI KEMULIAAN HIDUP